Thursday, July 12, 2007

Mahasiswa Desak Pemerintah, Cap RMS Sebagai Teroris

Makassar, 6 Juli 2007 15:18 (Gatra.com)
Sekitar 30 mahasiswa Gerakan Nasional Anti Separatis (Ganas) Makassar, melakukan aksi unjuk rasa di depan Monumen Mandala, Jumat (6/7).

Meminta kepada pemerintah untuk mengeluarkan keputusan hukum melalui lembaga hukum/politik yang menyatakan bahwa gerakan separatis RMS merupakan organisasi terlarang di Indonesia dan orang-orangnya adalah teroris.
Koordinator lapangan pengunjuk rasa, Kasim Usemahu mengatakan, kegiatan separatisme ini dianggap sangat berbahaya dan menjadi bahaya laten bagi bangsa Indonesia sehak 1950 dimana setiap saat dapat menimbulkan disintegrasi bangsa.
Pasalnya, RMS dikhawatirkan senantiasa menebarkan aksi teror demi mewujudkan keinginannya dimana hal ini bermuara pada ancaman serius terhadap ketahanan nasional sebab mengarah pada upaya pemisahan dari negara kesatuan RI.
Selain itu, kelompok separatis ini juga dianggap telah melanggar hak asasi manusia (HAM) hingga melahirkan perasaan traumatik yang berkepanjangan di kalagan masyarakar.
Kasim memberi contoh, pemberontakan fisik yang dilakukan RMS sejak pendeklarasiannya 25 April 1950 yang berkelanjutan sampai pada terjadinya tragedi Idul Fitri berdarah pada 19 Januari 1999.
Konflik yang terjadi di Maluku beberapa tahun silam, menurut Kasim, bukan konflik SARA melainkan pertentangan antara masyarakat yang pro dan kontra NKRI dimana hal tersebut tidak terlepas dari permainan kelompok separatis RMS sementara pemerintah hingga saat ini belum juga menindak mereka secara tegas.
Akibatnya, gerakan separatis RMS ini justru semakin menjadi-jadi bahkan mereka tetap memperingati hari ulang tahun RMS dengan pengibaran "Bendera Benang Raja" setiap tahun dalam pengawalan aparat keamanan. Pada akhirnya, kata Kasim, RMS ini berani muncul di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memimpin peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) di Ambon.
"Gerak-gerik RMS ini semakin memperkuat dugaan bahwa kegiatan separatisme tetap masih melenggang di bumi `Ambon Manise` ini dan gerakan ini senantiasa akan menjadi ancaman serius bagi tegaknya NKRI.
Hal tersebut semakin jelas saat ditemukan 60 lembar bendera separatis dan amunisi jenis SSI serta ratusan kain berwarna yang siap dijadikan bendera RSM yang rencananya akan dijadikan kado manis khusus untuk menyambut Presiden SBY," teriak pengunjuk rasa.
Pengunjuk rasa ini juga meminta kepada pemerintah untuk menyatakan bahwa separatis RMS adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap pelangaran hukum dan HAM dalam konflik Maluku sejak tahun 1999 sampai saat ini serta membatalkan rekonsiliasi Malino II karena diangap tidak reprsentatif.
Selain itu, mereka juga mendesak pemerintah untuk segera menangkap dan menghukum mati pimpinan Front Kedaulatan Maluku, dr. Alex Manuputy yang disinyalir terlibat dalam gerakan separatis RMS. [TMA, Ant]

Lanjut?

Pendemo Tuntut Gubernur, Pangdam, dan Kapolda Maluku dicopot

Senin, 02 Juli 2007 | 12:23 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pengunjuk rasa anti organisasi gerakan separatis Republik Maluku Sarani (RMS), kembali melakukan aksi protes terhadap aparat yang dinilai tidak serius menangani insiden yang terjadi saat peringatan Hari Keluarga Nasional. Ketidakseriusan ini terbukti dengan kembali berkibarnya dua bendera RMS di Ambon, pagi tadi.

Aksi anti RMS yang dilakukan Gerakan Nasional Anti Separatis (Ganas) ini berlangsung di depan Monumen Mandala Pembebasan Irian Barat, Makassar, Senin (2/7). Aksi serupa juga dilakukan para mahasiswa yang tergabung dalam Simpul Gerakan Mahasiswa Maluku se-Indonesia (SGMMI).

"Para aparat TNI maupun Polri tidak serius, dan tidak becus menyelesaikan masalah insiden yang terjadi di Lapangan Merdeka Kota Ambon, 29 Juni lalu, buktinya pagi tadi kembali terjadi pengibaran dua bendera RMS di Maluku," kata Koordinator Lapangan Ganas, Muh Kasim Usemahu.

Seruan serupa diungkapkan jenderal lapangan SGMMI, Abd Gani Renuat, yang melakukan aksi serupa di perempatan tol Reformasi yang mendesak pemerintah untuk segera memecat Pangdam XVI Pattimura dan Kapolda Maluku terkait gerakan separatis RMS di Maluku.

Dalam tuntutannya para pengunjuk rasa ini juga menyatakan gerakan separatis RMS sebagai organisasi terlarang di RI, melegitimasi TNI/Polri untuk menumpas gerakan separatis RMS,serta meminta agar mencopot gubernur Maluku, Pangdam XVI Pattimura, dan Kapolda Maluku, akibat insiden Harganas. Irmawati

Lanjut?

Thursday, July 5, 2007

file lengkap

Dapatkan file lengkap tulisan "Solusi konflik Maluku"
Untuk mendapatkan file lengkap dari tulisan "Solusi Konkrit Penyelesaian konflik Maluku", silahkan membuka http://www.esnips.com/web/dillopribumiswebresearch, kemudian
Download file yang berekstensi *.doc dengan nama solusi rms.
terima kasih, salam.

Lanjut?

SOLUSI KONKRIT PENYELESAIAN KONFLIK MALUKU II

Fakta terbaru, isu teroris dan pengeboman (akibat propaganda Yahudi Amerika dan Eropa) yang menyita perhatian dunia, terkesan disikapi secara berlebihan oleh pemerintah, sebagai bukti pemerintah melalui Detasmen Khusus (DENSUS) 88 Anti Terornya terlihat cukup responsif dalam melacak setiap aksi teroris yang terjadi, sebegitu cepatnya hingga dalam hitungan jam aksi tersebut dapat diungkap bahkan bila perlu sampai pada identifikasi pelaku kejahatan. Hal ini mengundang tanya kenapa pada konflik Maluku tidak terjadi hal yang demikian?
Dalam hal ini bukan berarti kita menutup mata apalagi meremehkan konflik yang terjadi di Aceh, Papua dan aksi-aksi teror serta pengeboman yang terjadi di Indonesia, akan tetapi cobalah pemerintah dengan hak politik dan segala kewenangannya menyatakan secara tegas bahwa status konflik Maluku sama dengan yang terjadi di Aceh dan Papua sebagai tindakan separatis yang mengarah pada disintegrasi bangsa yang bentuk penyelesaiannya pun harus melibatkan komponen bangsa ini secara kolektif.
Menarik untuk dicermati adalah gerakan separatis RMS, sesungguhnya lebih berbahaya dibandingkan dengan Terorisme. Mengapa demikian? Alasan paling mendasar adalah obyek dari terorisme itu sendiri. Obyek terorisme di Indonesia adalah semua aset Yahudi Amerika dan kroni-kroninya. Terorisme terjadi sebagai reaksi ketidakpuasan pelaku teror terhadap tindakan-tindakan Yahudi Amerika CS yang sebenarnya sebagai pelaku pelanggaran HAM nomor wahid di dunia.
Kalaupun aksi Terorisme ini berakibat fatal pada stabilitas bangsa dan pelanggaran terhadap HAM dan menimbulkan rasa tidak aman bagi setiap orang dalam melakukan aktifitasnya namun disisi lain hal itu tidak mengancam pada upaya disintegrasi bangsa. Argumentasi ini bukan berarti membenarkan aksi-aksi teror yang terjadi selama ini akan tetapi sekedar mengkomparasi akibat yang ditimbulkan oleh aksi teroris dan separatis.
Sedangkan Separatis RMS bukan saja menjadi bahaya laten bagi bangsa Indonesia sejak tahun 1950, tetapi telah melanggar HAM dan Kemanusiaan hingga melahirkan rasa traumatik yang berkepanjangan. Selain itu Separatis RMS sesungguhnya adalah Teroris sejati karena senantiasa menebarkan aksi teror demi mewujudkan keinginannya. hal ini bermuara pada ancaman serius terhadap ketahanan nasional sebab mengarah pada upaya pemisahan diri (disintegrasi) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Fenomena yang berkembang terakhir, justru aktifitas gerakan Separatis RMS semakin marak, hal ini ditandai dengan tetap dilaksanakannya upacara peringatan hari ulang tahun RMS setiap tahun walaupun dalam pengawalan aparat keamanan yang melibatkan ribuan personil, pengibaraan bendera RMS, pengeboman di tempat-tempat umum di Kota Ambon, dan yang paling anyar adalah penemuan 60 lembar bendera Separatis RMS, amunisi jenis SS1 dan ratusan kain berwarna yang siap dijadikan bendera RMS yang nantinya disiapkan sebagai KADO MANIS khusus untuk menyambut kedatangan bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan rombongan serta undangan dalam peringatan HARGANAS di Ambon, yang ditemukan dari salah satu rumah warga, di Kelurahan Batu Meja, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon pada tanggal 22 Juni 2007.
Mestinya hal itu telah menjadi warning bagi seluruh aparat keamanan di Maluku, akan tetapi yang terjadi kemudian justru aksi Separatis RMS dengan leluasanya membentangkan bendera ”BENANG RAJA” di depan Presiden Republik Indonesia. Tindakan ini merupakan preseden buruk yang bukan saja telah merendahkan harkat dan martabat bapak Susilo Bambang Yudhoyono secara pribadi, Presiden maupun sebagai Kepala Negara, akan tetapi KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TELAH DIINJAK-INJAK OLEH SEPARATIS RMS.
Tindakan berani yang dilakukan oleh Separatis RMS dengan momen HARGANAS, sesungguhnya dalam rangka menarik simpati dunia sekaligus Shock teraphy bagi bangsa Indonesia, sebagai bukti bahwa Separatis RMS masih eksis di bumi Maluku. Hal ini jangan dilihat dari kuantitas personil yang muncul dipermukaan, sebab itu tidaklah menjadi ukuran dalam menilai gerakan Separatis RMS, karena akibat yang ditimbulkan tetaplah mengancam dan berbahaya bagi kedaulatan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Seminggu sebelumnya, informasi yang telah disampaikan oleh Badan Intelijen bahwa Separatis RMS akan beraksi pada Peringatan HARGANAS, sebagai bentuk kehati-hatian khususnya pada TNI/POLRI dalam melakukan pengamanan pada peringatan tersebut. Termasuk penemuan beberapa bendera, amunisi dan dokumen Separatis RMS pada tanggal 22 Juni 2007. mestinya informasi dan penemuan atribut Separatis RMS tersebut, menjadi bahan evaluasi dalam pengamanan peringatan HARGANAS. Akan tetapi hal tersebut tidak ditindaklanjuti secara serius oleh aparat keamanan di Maluku. Lebih tragis lagi, preseden yang memalukan dan menodai citra bangsa Indonesia ini, h a n y a dinyatakan sebagai KECOLONGAN bukan KESENGAJAAN yang telah direncanakan sebelumnya oleh Separatis RMS.
Hal ini sangatlah memilukan, dua institusi keamanan negara secara sadar telah di permalukan oleh Separatis RMS di hadapan rakyat Indonesia dan dunia, masih saja dikatakan sebagai aksi segelintir orang yang tidak berbahaya. Justru yang sangat disayangkan ucapan itu dilontarkan oleh Yang Terhormat Bapak Wakil Presiden RI (Yusuf Kalla) ”bahwa tindakan RMS yang dilakukan dalam insiden HARGANAS merupakan aksi segelintir orang dan orang Islam pun ada yang RMS” kalimat itu bukan saja telah menyimpang dari sejarah perjuangan Indonesia akan tetapi lebih dari pada itu telah melukai perasaan Rakyat Maluku Pro NKRI. Dan bentuk pengingkaran terhadap perjuangan Para Syuhada bangsa yang gugur mulai dari tahun 1950 sampai dengan tahun 1999 sebagai wujud tanggungjawab dalam mempertahankan Wilayah Kesatuan Republik Indonesia dari pemberontakan Separatis RMS.
Dari Insiden HARGANAS, ada hikmah yang mesti dipetik bahwa Persoalan Konflik Maluku belum selesai selama Gerakan Separatis RMS belum dimusnahkan dari Bumi Maluku dan Indonesia. Mengomentari hal tersebut terlepas dari skenario politik dan Upaya Komersialisasi RMS sebagai komoditas oknum tertentu di Maluku, sewajarnya konflik Maluku bukan hanya difokuskan sebatas pada pengusutan inseden HAGARNAS yang memalukan itu.
Mutasi para pejabat yang bertanggungjawab dalam insiden HARGANAS bukan solusi terbaik penyelesaian konflik Maluku, karena selama aktor intelektual Separatis RMS belum di perangi maka konflik di Maluku tidak akan pernah tuntas.
Aksi yang s e n g a j a dipertontonkan oleh Separatis RMS dalam bentuk tarian perang ”Cakalele” hanyalah Show Force terhadap republik ini, naman hal ini jangan dipandang sebagai tindakan sepele, sebab hal tersebut merupakan bagian dari Grand Design, perang urat saraf, perang dingin atau apapun namanya, sebagai modus baru pergerakannya. Olehnya itu dibutuhkan sikap serius dari pemerintah dalam menangani persoalan Separatis RMS di Maluku karena akibat yang ditimbulkan lebih berbahaya dari sekedar aksi teroris.
dengan kata lain “Teroris Belum Tentu Separatis, Tetapi Separatis Sudah Pasti Teroris”.

Untuk itu dirasa perlu adanya upaya-upaya konkrit yang mestinya segera dilakukan, untuk selanjutnya di tindak lanjuti sebagai berikut :
1.Meminta kepada pemerintah RI untuk mengeluarkan keputusan hukum melalui lembaga hukum ataupun melalui keputusan politik pemerintah untuk menyatakan Gerakan Separatis RMS sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
2.Meminta sikap tegas pemerintah RI untuk menyatakan bahwa Separatis RMS adalah pihak yang paling bertanggungjawab terhadap pelanggaran hukum dan HAM dalam konflik Maluku sejak Tahun 1999 sampai saat ini.
3.Meminta kepada Pemerintah RI agar Rekonsiliasi Malino II dinyatakan batal demi hukum karena tidak representatif dan telah mencederai proses penegakan hukum di Indonesia.
4.Menuntut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) untuk melakukan investigasi terhadap tindakan pelanggaran HAM di Maluku selama konflik.
5.Meminta kepada Badan Intelijen Negara (BIN) untuk segera mengungkap mata rantai dari gerakan Separatis RMS yang telah melakukan makar terhadap NKRI.
6.Meminta kepada pemerintah RI untuk segera menangkap dan menghukum mati pimpinan Front Kedaulatan Maluku (FKM) dr. Alex Manuputty.
7.Mendesak kepada pemerintah RI khususnya POLDA MALUKU agar lebih tegas dalam mengungkap konspirasi RMS dengan tidak hanya melakukan penyitaan terhadap atribut-atribut gerakan Separatis RMS saja, akan tetapi diperlukan tindakan lain yang tidak bertentangan dengan hukum (diskresi) seperti perintah tembak mati di tempat bagi siapa saja yang membuat, menyimpan, menaikkan bendera RMS dan/atau melakukan aktivitas RMS dalam bentuk apapun.
8.Meminta/mendesak Gubernur dan Ketua DPRD Propinsi Maluku, agar dalam penyelesaian konflik Maluku tidak hanya difokuskan sebatas pada pengusutan inseden HARGANAS, tetapi lebih difokuskan pada pengusutan aktor-aktor intelektual Separatis RMS.
9.Meminta dengan hormat kepada seluruh elemen masyarakat dan elite politik, agar tidak mengeluarkan pernyataan berkenaan dengan Separatis RMS yang tidak sesuai dengan fakta dan realita, karena akan berdampak negatif di masyarakat.

Dengan dilakukannya upaya-upaya konkrit diatas, adalah bukti sikap tegas pemerintah RI terhadap penyelesaian konflik Maluku. Dengan demikian proses hukum yang dilakukan mengangkat harkat dan martabat manusia bagi korban dalam konflik Maluku. Jatuhnya korban dan keluarga yang ditinggalkan membutuhkan pengakuan pemerintah bahwa apa yang mereka lakukan adalah wujud nasionalisme yang sesungguhnya. Semoga mereka yang telah pergi meninggalkan kita adalah yang terpilih untuk meluruskan langkah kita selanjutnya. Amin!
Demikianlah pernyataan yang kami buat, dengan harapan dapat dimaklumi untuk selanjutnya ditindaklanjuti.

Lanjut?

SOLUSI KONKRIT PENYELESAIAN KONFLIK MALUKU I

Konflik kemanusiaan yang terjadi di Maluku atau Kota Ambon sejak tahun 1999, yang lebih dikenal dengan peristiwa Idul Fitri Berdarah sampai saat ini belum ada penyelesaian yang kongkrit dan tidak menyentuh akar persoalan. Kesalahan terbesar dari Pemerintah Republik Indonesia (RI) adalah menyatakan bahwa konflik Maluku sebagai konflik SARA, Ironisnya lagi sejak pecah konflik hingga saat ini pemerintah belum mampu mendeteksi dan mendiagnosa konflik Maluku secara holistik. Analisis yang salah oleh pemerintah RI ini, berakibat fatal pada kondisi masyarakat Maluku yang hingga kini hidup dalam bayang-bayang konflik dan diliputi rasa traumatik. Betapa tidak konsepsi atau formula yang ditawarkan dalam rangka penyelesaian konflik lebih banyak difokuskan pada retorika dialogis, berupa dialog budaya dan dialog agama bernama “Forum Baku Bae” yang kemudian dikerucutkan dengan lahirnya Perjanjian Malino II atas prakarsa Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden RI Yusuf Kalla (saat itu masing-masing menjabat sebagai Menkopolkam dan Menkokesra).
Idealnya, dari sekian agenda yang telah dilakukan, mestinya telah mampu menguak misteri dibalik konflik Maluku yang berkepanjangan, atau menjawab pertanyaan yang mungkin sampai saat ini masih menghiasi memori rakyat Maluku yakni, “Konflik SARA ataukah Separatis yang didalangi oleh RMS yang terjadi di bumi Maluku???”. Setidaknya itu merupakan amanah dari hasil Perjanjian Malino II, yang sudah seharusnya segera ditindak lanjuti oleh Pemerintah RI, akan tetapi pada faktanya sampai dengan saat ini, tidak ada pernyataan sikap dari Pemerintah RI untuk menyatakan bahwa konflik Maluku adalah murni Separatis RMS ?
Sungguh tidaklah sulit sebenarnya, untuk menyimpulkan inti persoalan, karena telah cukup bukti bahwa otak dibalik konflik Maluku adalah Separatis Republik Maluku Sarani (RMS), yang secara historis sejak pendeklarasiannya pada tanggal 25 April 1950 oleh Mr. Dr. Christian Roberth Steven Soumokil yang menyatakan memerdekakan dirinya dan terpisah dari Republik Indonesia. Pergerakan ini, dibiarkan beregenerasi dan selalu membayangi setiap desah nafas dan aliran darah mereka, yang hingga k i n i Bumi Maluku sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dinyatakan sebagai Republik Yang Hilang atau Tanah Yang dijanjikan. Akan tetapi yang menjadi tujuan akhir dari Separatis RMS ini, sebenarnya bukanlah hanya upaya memisahkan diri dari NKRI saja, tetapi kehendak untuk mengkristenkan Rakyat Maluku.
Tegasnya, kehendak DISINTEGRASI, oleh Separatis RMS digunakan hanya sebagai kedok untuk melegitimasi bahwa totalitas Rakyat Maluku menginginkan merdeka dan terpisah dari NKRI. Dengan kata lain perjuangan Separatis RMS adalah d e m i melindungi hak-hak rakyat Maluku?. kehendak tersebut, sangatlah kontras dengan kenyataan yang terjadi. Sungguh, jika benar obyek perjuangan Separatis RMS adalah disintegrasi bangsa, kenapa pula sejak tahun 1950 hingga kini, perjuangannya tidak didukung oleh Rakyat Maluku secara kolektif. Padahal jika dimaknai secara mendalam kaitannya dengan semangat otonomi daerah, sebenarnya konsepsi itu bertujuan baik sebagai koreksi terhadap pemerintah pusat akibat kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, yang sudah barang tentu mestinya didukung oleh totalitas rakyat Maluku karena merasa dianak tirikan oleh Pemerintah RI, akan tetapi konsep itu tidak dapat dijadikan dasar pijakan karena pada faktanya tidak demikian.
A p a S e b a b n y a ?
Sekali lagi di t e g a s k a n bahwa disintegrasi bangsa yang dilakukan oleh Separatis RMS adalah bukan tujuan akhirnya, tetapi lebih dari pada itu adalah konsistensi dalam memperjuangkan konsep awal yakni, mendirikan Republik Maluku Sarani (dialek agama, Sarani adalah sama dengan Kristen). Olehnya itu pengistilahan RMS, sesungguhnya b u k a n REPUBLIK MALUKU SELATAN m e l a i n k a n REPUBLIK MALUKU SARANI sebagai cita-cita luhur Separatis RMS!. Inilah alasan yang sesungguhnya, mengapa totalitas Rakyat Maluku terutama Umat Islam tidak sepenuhnya mendukung perjuangan Republik Maluku Sarani (RMS) yang didalangi oleh Umat Kristen. Karena selain dari adanya upaya untuk memisahkan diri dari NKRI juga yang lebih berbahaya adalah gerakan Kristenisasi terhadap Rakyat Maluku pada khususnya dan Rakyat Indonesia pada umumnya. Perlu diketahui, hal ini telah menjadi rahasia umum dikalangan Rakyat Maluku, terutama umat Islam yang tidak menginginkan Maluku terpisah dari NKRI apalagi menjadikan Maluku sebagai Negara Republik Sarani.
Pemberontakan fisik yang dilakukan oleh Separatis RMS, sejak pendeklarasiannya pada tanggal 25 April 1950, yang berkelanjutan sampai dengan terjadinya ”Tragedi Idul Fitri Berdarah” pada tanggal 19 Januari 1999, adalah bentuk konsistensinya dalam memperjuangkan tujuannya. Namun pada kenyataannya pergolakan fisik belum mampu mewujudkan kehendak Separatis RMS karena mendapat perlawanan dari umat Islam dan Rakyat Pro NKRI.
Belajar dari tidak efektifnya pergolakan fisik yang terjadi sejak tahun 1950 hingga kini, maka oleh Separatis RMS, pola pergerakan diubah kearah non fisik (perang dingin). Konsep ini diawali dengan tindakan-tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan daerah Maluku yang didominasi oleh umat Kristen, contohnya, Sistem Perekrutan Aparatur Negara seperti penerimaan PNS, POLISI, dan TNI yang telah diformat sedemikian rupa, sehingga memberikan keuntungan kepada pihak Separatis RMS, dalam rangka mewujudkan konsep negara saraninya.
Selain tindakan diatas, pembangunan sarana dan prasarana fisik dalam wilayah Maluku, lebih banyak di arahkan pada daerah-daerah yang di dominasi oleh umat Kristen, tentunya hal ini dengan sendirinya telah menimbulkan kerugian terhadap totalitas Rakyat Maluku, khususnya umat Islam.
Tidak cukup dengan metode itu saja, untuk memblow up gerakannya, Separatis RMS dengan kekuatannya dalam pemerintahan daerah Maluku, dalam hal penyelesaian terkait dengan konflik Maluku, hanya diarahkan pada proses perdamaian (islah), pendekatan adat istiadat Pella-Gandong, atau kalimat-kalimat manis seperti ”Damai itu Indah”, ”Katong Samua Basudara” dan ”Ale Rasa Beta Rasa”. Namun demikian, perlu dipahami bahwa konflik Maluku, bukanlah konflik SARA atau yang sering disimbolkan dengan pertentangan antara golongan merah dan golongan putih, melainkan pertentangan antara masyarakat yang pro NKRI (merah putih) dan masyarakat yang kontra NKRI (anti merah putih), yang mengarah pada disintegrasi bangsa dan ancaman bagi stabilitas negara yang dikategorikan sebagai Tindakan Makar, sehingga penanganannya harus segera dituntaskan.
Dari analisis tersebut diatas, muncul pertanyaan kemudian dengan tidak mengurangi rasa hormat pada Badan Intelijen Negara (BIN), apakah fungsi dan perangkat intelijennya tidak mampu mengungkapkan hal tersebut? Ataukah Pemerintah RI yang tidak cukup punya keberanian untuk bersuara terhadap konflik Maluku? Jika demikian, dapat disimpulkan bahwa sungguh berdosa bangsa Indonesia terhadap rakyat Maluku karena membiarkan rakyatnya hidup dalam suasana teror?
Perlu diketahui bahwa konflik Maluku merupakan tragedi kemanusiaan terbesar di Indonesia yang bukan saja menelan ribuan jiwa dan menghancurkan harta kekayaan, melaikan menimbulkan rasa traumatik yang berkepanjangan akibat gerakan Separatis RMS., namun empati seluruh rakyat Indonesia terhadap gerakan Separatis RMS tidak tampak, terbukti hingga kini konflik Maluku tidak pernah dianggap sebagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Situasi ini semakin diperparah dengan pembentukan public opinion, yang beranggapan bahwa konflik Maluku sebagai konflik lokalan sehingga penyelesaiannya diserahkan kepada rakyat Maluku itu sendiri untuk menyelesaikannya. Tragis memang, walau pada kenyataannya konflik ini adalah ancaman serius terhadap eksistensi k e d a u l a t a n negara dan bangsa. Mungkinkah sebagai bangsa yang beradab rasa nasionalisme dan semangat kebangsaan kita sudah sedemikin terjerembab?
Telah jelas bahwa tindak brutal yang dilakukan oleh Separatis RMS merupakan pelanggaran HAM dan Makar terhadap NKRI, yang penanganannya harus dilakukan secara cepat dan simultan dengan tujuan membasmi Separatis RMS beserta simpatisannya. Karena logikanya dalam penyelesaian konflik atau delict, yang berakibat pada pelanggaran hukum dan HAM, mestinya ditindak lanjuti berdasarkan hukum atau konstitusi yang berlaku sebagai wujud implementasi dari asas The Rule Of Law bukan dengan menggunakan cara-cara rekonsiliasi atau islah. Sebab metode tersebut, tidak mencerminkan negara yang berasaskan hukum (Rechtstaat). Olehnya itu konflik Maluku h a r u s dituntaskan melalui jalur hukum, salah satunya adalah mengungkap aktor intelektual dibalik konflik Maluku termasuk menangkap tokoh-tokoh Separatis RMS seperti dr. Alex Manuputty yang sampai sekarang masih dibiarkan bebas tanpa tersentuh oleh proses hukum.
Gejala ini mencerminkan sikap enggan pemerintah dalam upaya solutif penyelesaian konflik Maluku. Hal ini terlihat jelas pada action pemerintah yang in order dan doble standar dalam penyelesaian konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua dan RMS di Maluku. Jika pada konflik GAM dan OPM pemerintah menganggap sebagai tindakan disintegrasi bangsa yang mengancam ketahanan nasional, sementara untuk konflik Maluku dengan berbagai kelengkapan pembuktiannya dianggap angin lalu oleh pemerintah dalam penyelesaiannya, sehingga konflik Maluku tetap terpelihara dan cenderung dibiarkan membara, yang bukan tidak mungkin sewaktu-waktu memicu konflik baru karena Separatis RMS sebagai virus yang belum sepenuhnya dibersihkan.

Lanjut?