Thursday, July 5, 2007

SOLUSI KONKRIT PENYELESAIAN KONFLIK MALUKU I

Konflik kemanusiaan yang terjadi di Maluku atau Kota Ambon sejak tahun 1999, yang lebih dikenal dengan peristiwa Idul Fitri Berdarah sampai saat ini belum ada penyelesaian yang kongkrit dan tidak menyentuh akar persoalan. Kesalahan terbesar dari Pemerintah Republik Indonesia (RI) adalah menyatakan bahwa konflik Maluku sebagai konflik SARA, Ironisnya lagi sejak pecah konflik hingga saat ini pemerintah belum mampu mendeteksi dan mendiagnosa konflik Maluku secara holistik. Analisis yang salah oleh pemerintah RI ini, berakibat fatal pada kondisi masyarakat Maluku yang hingga kini hidup dalam bayang-bayang konflik dan diliputi rasa traumatik. Betapa tidak konsepsi atau formula yang ditawarkan dalam rangka penyelesaian konflik lebih banyak difokuskan pada retorika dialogis, berupa dialog budaya dan dialog agama bernama “Forum Baku Bae” yang kemudian dikerucutkan dengan lahirnya Perjanjian Malino II atas prakarsa Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden RI Yusuf Kalla (saat itu masing-masing menjabat sebagai Menkopolkam dan Menkokesra).
Idealnya, dari sekian agenda yang telah dilakukan, mestinya telah mampu menguak misteri dibalik konflik Maluku yang berkepanjangan, atau menjawab pertanyaan yang mungkin sampai saat ini masih menghiasi memori rakyat Maluku yakni, “Konflik SARA ataukah Separatis yang didalangi oleh RMS yang terjadi di bumi Maluku???”. Setidaknya itu merupakan amanah dari hasil Perjanjian Malino II, yang sudah seharusnya segera ditindak lanjuti oleh Pemerintah RI, akan tetapi pada faktanya sampai dengan saat ini, tidak ada pernyataan sikap dari Pemerintah RI untuk menyatakan bahwa konflik Maluku adalah murni Separatis RMS ?
Sungguh tidaklah sulit sebenarnya, untuk menyimpulkan inti persoalan, karena telah cukup bukti bahwa otak dibalik konflik Maluku adalah Separatis Republik Maluku Sarani (RMS), yang secara historis sejak pendeklarasiannya pada tanggal 25 April 1950 oleh Mr. Dr. Christian Roberth Steven Soumokil yang menyatakan memerdekakan dirinya dan terpisah dari Republik Indonesia. Pergerakan ini, dibiarkan beregenerasi dan selalu membayangi setiap desah nafas dan aliran darah mereka, yang hingga k i n i Bumi Maluku sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dinyatakan sebagai Republik Yang Hilang atau Tanah Yang dijanjikan. Akan tetapi yang menjadi tujuan akhir dari Separatis RMS ini, sebenarnya bukanlah hanya upaya memisahkan diri dari NKRI saja, tetapi kehendak untuk mengkristenkan Rakyat Maluku.
Tegasnya, kehendak DISINTEGRASI, oleh Separatis RMS digunakan hanya sebagai kedok untuk melegitimasi bahwa totalitas Rakyat Maluku menginginkan merdeka dan terpisah dari NKRI. Dengan kata lain perjuangan Separatis RMS adalah d e m i melindungi hak-hak rakyat Maluku?. kehendak tersebut, sangatlah kontras dengan kenyataan yang terjadi. Sungguh, jika benar obyek perjuangan Separatis RMS adalah disintegrasi bangsa, kenapa pula sejak tahun 1950 hingga kini, perjuangannya tidak didukung oleh Rakyat Maluku secara kolektif. Padahal jika dimaknai secara mendalam kaitannya dengan semangat otonomi daerah, sebenarnya konsepsi itu bertujuan baik sebagai koreksi terhadap pemerintah pusat akibat kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, yang sudah barang tentu mestinya didukung oleh totalitas rakyat Maluku karena merasa dianak tirikan oleh Pemerintah RI, akan tetapi konsep itu tidak dapat dijadikan dasar pijakan karena pada faktanya tidak demikian.
A p a S e b a b n y a ?
Sekali lagi di t e g a s k a n bahwa disintegrasi bangsa yang dilakukan oleh Separatis RMS adalah bukan tujuan akhirnya, tetapi lebih dari pada itu adalah konsistensi dalam memperjuangkan konsep awal yakni, mendirikan Republik Maluku Sarani (dialek agama, Sarani adalah sama dengan Kristen). Olehnya itu pengistilahan RMS, sesungguhnya b u k a n REPUBLIK MALUKU SELATAN m e l a i n k a n REPUBLIK MALUKU SARANI sebagai cita-cita luhur Separatis RMS!. Inilah alasan yang sesungguhnya, mengapa totalitas Rakyat Maluku terutama Umat Islam tidak sepenuhnya mendukung perjuangan Republik Maluku Sarani (RMS) yang didalangi oleh Umat Kristen. Karena selain dari adanya upaya untuk memisahkan diri dari NKRI juga yang lebih berbahaya adalah gerakan Kristenisasi terhadap Rakyat Maluku pada khususnya dan Rakyat Indonesia pada umumnya. Perlu diketahui, hal ini telah menjadi rahasia umum dikalangan Rakyat Maluku, terutama umat Islam yang tidak menginginkan Maluku terpisah dari NKRI apalagi menjadikan Maluku sebagai Negara Republik Sarani.
Pemberontakan fisik yang dilakukan oleh Separatis RMS, sejak pendeklarasiannya pada tanggal 25 April 1950, yang berkelanjutan sampai dengan terjadinya ”Tragedi Idul Fitri Berdarah” pada tanggal 19 Januari 1999, adalah bentuk konsistensinya dalam memperjuangkan tujuannya. Namun pada kenyataannya pergolakan fisik belum mampu mewujudkan kehendak Separatis RMS karena mendapat perlawanan dari umat Islam dan Rakyat Pro NKRI.
Belajar dari tidak efektifnya pergolakan fisik yang terjadi sejak tahun 1950 hingga kini, maka oleh Separatis RMS, pola pergerakan diubah kearah non fisik (perang dingin). Konsep ini diawali dengan tindakan-tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan daerah Maluku yang didominasi oleh umat Kristen, contohnya, Sistem Perekrutan Aparatur Negara seperti penerimaan PNS, POLISI, dan TNI yang telah diformat sedemikian rupa, sehingga memberikan keuntungan kepada pihak Separatis RMS, dalam rangka mewujudkan konsep negara saraninya.
Selain tindakan diatas, pembangunan sarana dan prasarana fisik dalam wilayah Maluku, lebih banyak di arahkan pada daerah-daerah yang di dominasi oleh umat Kristen, tentunya hal ini dengan sendirinya telah menimbulkan kerugian terhadap totalitas Rakyat Maluku, khususnya umat Islam.
Tidak cukup dengan metode itu saja, untuk memblow up gerakannya, Separatis RMS dengan kekuatannya dalam pemerintahan daerah Maluku, dalam hal penyelesaian terkait dengan konflik Maluku, hanya diarahkan pada proses perdamaian (islah), pendekatan adat istiadat Pella-Gandong, atau kalimat-kalimat manis seperti ”Damai itu Indah”, ”Katong Samua Basudara” dan ”Ale Rasa Beta Rasa”. Namun demikian, perlu dipahami bahwa konflik Maluku, bukanlah konflik SARA atau yang sering disimbolkan dengan pertentangan antara golongan merah dan golongan putih, melainkan pertentangan antara masyarakat yang pro NKRI (merah putih) dan masyarakat yang kontra NKRI (anti merah putih), yang mengarah pada disintegrasi bangsa dan ancaman bagi stabilitas negara yang dikategorikan sebagai Tindakan Makar, sehingga penanganannya harus segera dituntaskan.
Dari analisis tersebut diatas, muncul pertanyaan kemudian dengan tidak mengurangi rasa hormat pada Badan Intelijen Negara (BIN), apakah fungsi dan perangkat intelijennya tidak mampu mengungkapkan hal tersebut? Ataukah Pemerintah RI yang tidak cukup punya keberanian untuk bersuara terhadap konflik Maluku? Jika demikian, dapat disimpulkan bahwa sungguh berdosa bangsa Indonesia terhadap rakyat Maluku karena membiarkan rakyatnya hidup dalam suasana teror?
Perlu diketahui bahwa konflik Maluku merupakan tragedi kemanusiaan terbesar di Indonesia yang bukan saja menelan ribuan jiwa dan menghancurkan harta kekayaan, melaikan menimbulkan rasa traumatik yang berkepanjangan akibat gerakan Separatis RMS., namun empati seluruh rakyat Indonesia terhadap gerakan Separatis RMS tidak tampak, terbukti hingga kini konflik Maluku tidak pernah dianggap sebagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Situasi ini semakin diperparah dengan pembentukan public opinion, yang beranggapan bahwa konflik Maluku sebagai konflik lokalan sehingga penyelesaiannya diserahkan kepada rakyat Maluku itu sendiri untuk menyelesaikannya. Tragis memang, walau pada kenyataannya konflik ini adalah ancaman serius terhadap eksistensi k e d a u l a t a n negara dan bangsa. Mungkinkah sebagai bangsa yang beradab rasa nasionalisme dan semangat kebangsaan kita sudah sedemikin terjerembab?
Telah jelas bahwa tindak brutal yang dilakukan oleh Separatis RMS merupakan pelanggaran HAM dan Makar terhadap NKRI, yang penanganannya harus dilakukan secara cepat dan simultan dengan tujuan membasmi Separatis RMS beserta simpatisannya. Karena logikanya dalam penyelesaian konflik atau delict, yang berakibat pada pelanggaran hukum dan HAM, mestinya ditindak lanjuti berdasarkan hukum atau konstitusi yang berlaku sebagai wujud implementasi dari asas The Rule Of Law bukan dengan menggunakan cara-cara rekonsiliasi atau islah. Sebab metode tersebut, tidak mencerminkan negara yang berasaskan hukum (Rechtstaat). Olehnya itu konflik Maluku h a r u s dituntaskan melalui jalur hukum, salah satunya adalah mengungkap aktor intelektual dibalik konflik Maluku termasuk menangkap tokoh-tokoh Separatis RMS seperti dr. Alex Manuputty yang sampai sekarang masih dibiarkan bebas tanpa tersentuh oleh proses hukum.
Gejala ini mencerminkan sikap enggan pemerintah dalam upaya solutif penyelesaian konflik Maluku. Hal ini terlihat jelas pada action pemerintah yang in order dan doble standar dalam penyelesaian konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua dan RMS di Maluku. Jika pada konflik GAM dan OPM pemerintah menganggap sebagai tindakan disintegrasi bangsa yang mengancam ketahanan nasional, sementara untuk konflik Maluku dengan berbagai kelengkapan pembuktiannya dianggap angin lalu oleh pemerintah dalam penyelesaiannya, sehingga konflik Maluku tetap terpelihara dan cenderung dibiarkan membara, yang bukan tidak mungkin sewaktu-waktu memicu konflik baru karena Separatis RMS sebagai virus yang belum sepenuhnya dibersihkan.

3 comments:

Blogger said...

artikel yang bagus.
memang sulit menumbuhkan kesadaran nasionalisme + kurangnya keberanian aparatur negara.
terima kasih.

by silk-scarf.blogspot.com

Anonymous said...

keren

Unknown said...

tulisan ini sungguh adalah karya yang didasarkan pada subjektifitas penulis.